Lari yang bener itu nggak pakai kaki.

Saya nggak suka lari dan nggak bakat lari. That was the fact. Sejak kecil saya lebih suka renang. Sampai 3 tahun yang lalu waktu saya tugas di Jawa Tengah, saya lebih suka disuruh berenang sekilo daripada disuruh lari sekilo. VO2 max saya juga kayaknya biasa aja, sampai sekarang saya masih belajar dan mencari cara supaya kalo pace lari agak cepat sedikit nggak gampang kehabisan nafas. Saya tahu persis ada beberapa teman saya yang dikaruniai Allah paru-paru super dan nggak punya masalah besar sama urusan ngatur nafas pas lari walaupun mereka nggak rutin lari.

Waktu pindah ke Jakarta di akhir 2012 lah saya baru mulai mikir untuk belajar lari. Simply karena ngerasa butuh olahraga tapi rutinitas ketika mulai pindah ke Jakarta nggak memungkinkan untuk bisa berenang rutin. Mulailah saya cari-cari info, browsing sana-sini dan cari-cari apps lari. Awalnya mulai dari kombinasi lari-jalan beberapa minggu sampe bisa lari 3km tanpa jalan dengan tuntunan apps. Girang banget bahwa ternyata saya bisa. Terus nemu aplikasi Nike+ yang bisa dikaitkan dengan Path buat lucu-lucuan nyemangatin diri. Tapi masalah mulai dateng waktu saya sering sakit di sekitar tulang kering sehabis lari, dan semakin lama sakitnya semakin sering datang. Sampe sering kali harus berhenti lari seminggu-dua minggu sampai sakitnya hilang.

Selidik punya selidik, ternyata sakit itu namanya Shin Splints. Sakit yang umum menghinggapi para pelari. Mulailah saya browsing kesana-sini dan akhirnya saya ketemu teknik Chi Running. Ada buku, video, apps dan e-learning-nya. Seneng aja karena banyak resource-nya jadi banyak bisa belajar. Dari situ saya jadi tahu sakit Shin Splints itu umumnya karena cara lari yang salah.

Teori lari ada banyak sih, basic-nya sebenernya nggak beda jauh. Chi Running cuma salah satunya. Tapi karena resource-nya banyak dan bimbingannya cukup detail saya agak serius mendalami pelajaran di Chi Running. Bukan karena pingin jadi pelari cepat (again..saya tetap merasa saya nggak berbakat lari), bukan juga pelari jauh (wong ketemu keluarga cuma Sabtu-Minggu, rasanya enggan juga lari kelamaan di hari libur). Simply karena saya pingin bisa lari yang menyenangkan, menyehatkan dan nggak gampang cedera, itu aja. Plus lari itu kan pada dasarnya gampang, modalnya tinggal sepatu dan niat..mau ada temen lari bareng syukur, mau lari sendiri juga nggak ada masalah šŸ™‚

Singkat cerita, 3 tahun ini ada banyak pelajaran umum dan agak detail yang saya pelajari. Tapi beberapa poin penting, eye opener, yang saya dapat dari Chi Running :

  1. Lari itu nggak pake (otot) kaki. Nomor satu terpenting adalah jaga postur : badan tegak berasa ‘tinggi’ dengan kepala, bahu, pinggang dan lutut ‘segaris’ waktu lari. Bayangkan aja pas lari itu kayak pucuk kepala kita terkait ke balon udara
  2. Dari postur yang tegak tapi nggak kaku itu terus kita ‘menjatuhkan’ badan ke depan. Kalo badan tegak, tumpuan ketika ‘jatuhnya’ akan di pergelangan kaki, bukan pinggang. Jadi lari yang benar itu gerakan majunya karena gravitasi kita ‘menjatuhkan’ postur tegak ke depan, bukan mengayunkan kaki ke depan. Kaki santai aja..fungsinya cuma sekedar menahan ‘jatuhnya’ badan terus ngayun ke belakang aja kayak ngayuh pedal sepeda.
  3. Untuk menjaga postur tetap bener tegak rileks dalam waktu lama perlu butuh ‘ditahan’ oleh otot perut. Jadi lari jauh itu lebih butuh otot perut yang kuat, bukan otot kaki. To be exact, satu-satunya otot yang berkontraksi ketika lari hanya otot perut, seluruh otot lain di tubuh itu lemes aja. Di sini juga saya baru ngerti kenapa atlet Kenya dan Ethiopia itu kakinya kurus kering..tapi yakin lah otot perutnya dijamin kayak karet ban šŸ™‚
  4. Pameo bahwa lari itu rawan cedera nggak benar. Kebanyakan cedera lari itu karena dua hal : salah milih sepatu atau cara lari yang salah.

Selamat cari keringat šŸ™‚

Ditulis di Bandung dan Jakarta.

#BePositive #BeHealthy

Andi.

3 thoughts on “Lari yang bener itu nggak pakai kaki.

Leave a comment